Oleh : Fatihatul Husniyah, S.Kep, Ners
Tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Hari ini dipilih untuk memperingati Universal Declaration of Human Rights oleh Majelis Umum perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, perancis. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat pada setiap individu yang hidup sejak lahir, bersifat universal dan tidak dapat dicabut tidak terkecuali orang dengan gangguan jiwa.
Menurut PP Nomor 28 Tahun 2024, yang dimaksud Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan/atau perubahan perilaku bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia dan terdiagnosis sebagai gangguan jiwa sesuai kriteria diagnosis yang ditetapkan. Mudahnya, orang melihat ODGJ terasa berbeda dengan orang pada umumnya karena adanya gejala yang muncul seperti mudah menangis, mudah terpicu marah, bicara sendiri, lebih suka menyendiri dan lain-lain yang disebabkan oleh gangguannya.
Masing-masing orang membangun persepsinya sesuai dengan bekal pengetahuan yang didapatkan sebelumnya. Karenanya tidak jarang kita mendengar atau menemui orang yang menganggap gangguan jiwa merupakan sebuah manifestasi dari kurang iman, kurangnya rasa Syukur atau bahkan dilihat sebagai gangguan yang disebabkan oleh makhluk ghaib dan sihir. Dalam perjalanannya, orang dengan gangguan jiwa dilihat sebagai orang yang enggan untuk bersosialisasi, malas, banyak tidur, tidak bisa bekerja, mengerikan, kejam dan sebagainya. Kemudian mereka beranggapan bahwa gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan. Persepsi individu ini dapat membentuk persepsi masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa, yang biasa kita kenal sebagai stigma.
Pada dasarnya, stigma ini merupakan stereotip negatif yang bertolak belakang pada fakta. Seolah-olah orang dengan gangguan jiwa itu pasti Demikian (stigma). Dari stigma ini akan muncul banyak dampak yang sangat berpengaruh pada perjalanan penyakit dan kehidupan orang dengan gangguan jiwa diantaranya:
- Terhambatnya seseorang untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Anggapan gangguan jiwa disebabkan oleh kurang iman, gangguan jin, atau kutukan membuat orang mencari pengobatan dengan pendekatan spiritual dibandingkan medis.
- Terhambatnya proses pengobatan dan rehabilitasi, misal anggapan obat dapat merusak ginjal menyebabkan odgj atau keluarga tidak mendukung untuk minum obat. Tidak hanya itu, anggapan bahwa ODGJ pemalas, tidak mau bekerja dan sebagainya mengakibatkan kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan untuk membantu pemulihan.
- Rentannya mendapat kekerasan. Anggapan orang dengan gangguan jiwa tidak dapat berpikir, tidak berdaya, lemah secara hukum membuat ODGJ rentan untuk ditipu, dimanfaatkan, dirampas haknya, mendapatkan kekerasan verbal, psikologis, fisik bahkan seksual.
- Mendapatkan diskriminasi. Anggapan ODGJ tidak bisa disembuhkan, tidak dapat bekerja, penyakit turunan dan dapat menular membuat mereka sulit dalam mengakses kesehatan, Pendidikan bahkan pekerjaan. Belum banyak tempat kerja yang membuka kesempatan bagi ODGJ untuk berkarya, belum luasnya pemerintah membuka peluang odgj untuk tetap berkontribusi.
Hal-hal diatas sangat bertolak belakang dengan konstitusi di Indonesia yang mengatur hak orang dengan gangguan jiwa yang diantaranya
- Berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Setiap ODGJ mempunyai hak mendapatkan kehidupan yang layak dengan dukungan dari keluarga dan pemerintah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar, mempunyai status kewarganegaraan, dan mengelola harta bendanya sendiri.
- Berhak mendapatkan layanan kesehatan, mulai dari mengakses layanan kesehatan profesional, mendapat informasi yang jujur dan lengkap terkait penyakitnya hingga terjamin ketersediaan obat.
- Berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk penelantaran, kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
- Hidup setara tanpa stigma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi saling berkaitan. Karena adanya stigma maka muncul seperti masalah yang sudah diuraikan di atas terutama diskriminasi. Karena itu keduanya harus dihilangkan agar setiap ODGJ mendapatkan kesempatan yang setara dalam Pendidikan, pekerjaan, aksesibilitas fasilitas publik, mempertahankan privasi, serta berkontribusi di masyarakat.
Penegakkan hak pada ODGJ harus terus diperjuangkan. Salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah membuka informasi seluas-luasnya terkait kesehatan mental dan pentingnya kita mendukung ODGJ dalam menuju pemulihan. Meski dalam praktiknya akan menemui banyak kendala, tapi mari terus gaungkan isu kesehatan mental ini agar semakin banyak orang sadar dan peduli dengan kesehatan mental sehingga tidak ada lagi stigma, diskriminasi dan perampasan hak orang dengan gangguan jiwa.
Salam sehat jiwa!
referensi:
https://peraturan.bpk.go.id/Details/294077/pp-no-28-tahun-2024