Dampak Diabetes Melitus Terhadap Perkembangan Kejiwaan

Oleh : dr. Ana Soelistyorini

Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin. Insulin adalah hormon yang disekresikan oleh pankreas untuk mengontrol kadar gula darah. Jika ada disfungsi insulin, maka gula dalam darah menjadi berlebih dan ikut terbuang bersama urin (Taylor, 2006). Peningkatan kadar gula darah yang dialami penderita diabetes melitus akan berbeda pada orang normal. Kadar gula darah orang normal tidak melebihi 100 mg/dl dan dua jam setelah makan tidak melebihi 140 mg/dl sedangkan pada penderita diabetes, dua jam setelah makan kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl (Tjokroprawiro, 2004). 

Selama ini banyak orang memandang diabetes dari sisi medis saja. Lalu, bagaimana dengan sisi psikologisnya? Artikel ini akan mengupas aspek apa saja yang terkandung dalam penyakit diabetes melitus baik dari sisi medis maupun dari sisi psikologis atau kejiwaan. Sebagaimana penyakit kronis lainnya, pengelolaan diabetes cenderung kompleks, karena harus diikuti dalam jangka waktu yang panjang, membutuhkan perubahan gaya hidup, dan dirancang untuk mencegah komplikasi daripada mengobati penyakit.

Hasil penelitian yang dilakukan Hasanat (2008) menunjukkan mulai dari awal diagnosis pasien memunculkan reaksi yang beragam. Reaksi tersebut antara lain perasaan takut, shock, merasa tidak percaya diri, sulit menerima kenyataan, kaget, sedih. Perasaan negatif ini muncul, karena biasanya segera setelah pasien didiagnosis penyakit kronis (dalam hal ini diabetes) akan terjadi keadaan krisis, yang ditandai dengan ketidakseimbangan fisik, sosial, maupun psikologis (Moos, dalam Taylor, 2006). Walau demikian, tidak semua pasien yang didiagnosis diabetes mengalami keadaan krisis. Pasien tersebut segera dapat beradaptasi dengan kondisi penyakitnya. Sebagai contoh, pasien tetap tenang, tidak merasa gelisah, tidak shock, tidak ada perasaan ’tidak enak’, ”cuek”, mampu menerima dan menyadari bahwa dirinya terkena diabetes, dan memandang bahwa banyak orang yang memiliki nasib yang sama.

Salah satu penyebab diabetes dikarenakan faktor keturunan. Tidak semua orang beruntung tidak mendapat ’warisan’ penyakit diabetes. Bagi mereka yang berasal dari keluarga yang sebagian besar penderita diabetes, setelah diagnosis tidak mengalami perasaan negatif. Mereka menyadari bahwa sewaktu-waktu akan terkena penyakit itu. Sikap ”cuek” dapat mempunyai dua makna. Pertama, ”cuek” sebagai mekanisme pertahanan, penyangkalan atau denial. Taylor (2006) mengatakan bahwa denial merupakan salah satu respon emosi, sebagai mekanisme pertahanan yang dilakukan pasien untuk menghindari implikasi penyakit. Pasien akan berperilaku seakan-akan penyakit yang dialami bukanlah penyakit yang berat. Dengan demikian, sikap tersebut mampu mengurangi atau menghindari munculnya perasaan negatif. Kedua, sikap ”cuek” dapat pula sebagai bentuk coping. Coping merupakan suatu proses untuk mengelola tuntutan dari luar maupun dari dalam diri individu, yang dianggap sebagai beban atau melebihi kapasitas orang tersebut (Taylor, 2006).

Empat komponen dalam pengelolaan diabetes adalah pengobatan medis, diet, olahraga, dan monitoring kadar glukosa dalam darah. Hasanat (2008) menemukan selama pengelolaan penyakit, pasien mengalami shock, tidak nyaman saat menjalani pengobatan, takut pada saat awal harus diet. Hal ini sejalan dengan penelitian yang menyebutkan keadaan di atas sebagai reaksi yang timbul akibat perubahan pola hidup, terutama perubahan pola makan.

Selain itu, pasien mempunyai kesulitan dalam menjalankan diet, yaitu sulit mengendalikan diri, mengontrol keinginan, mengatur 3J (jenis, jumlah, dan jadwal) makan, dan bosan, jenuh. Pada umumnya, bagi pasien yang mengetahui dan sadar tentang masalah diet, namun merasa kesulitan untuk kontrol diri dapat dikatakan memiliki self control rendah. Self control ini merupakan salah satu kunci yang terkait dengan diet dalam pengelolaan diabetes, mengatakan bahwa keterampilan kontrol diri yang baik akan mengakibatkan kontrol terhadap kadar gula darah yang baik pula (dalam Taylor, 2006).

Kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari keadaan emosional. Kirkley (dalam Fisher, dkk., 1982) menemukan bahwa perubahan pola hidup yang harus dijalani pasien diabetes dapat menimbulkan emosi negatif, serta konflik yang terjadi dalam diri pasien. Selanjutnya Kirkley menyatakan bahwa munculnya emosi negatif berupa marah, rasa bersalah, cemas, dan sedih dapat menyebabkan pasien mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak atau justru mengkonsumsi jenis makanan yang tidak dianjurkan.

Kondisi ini apabila tidak ditangani secara serius akan mempengaruhi proses penyembuhan dan dapat menghambat aktivitas kehidupan sehari-hari yang selanjutnya berdampak negatif pada harga diri, semangat juang dan kualitas hidup. Selain itu, stres dapat merusak kontrol kadar gula dalam darah. Lebih lanjut, ketika seseorang mengalami stres, kelenjar adrenal melepas epinephrine dan kortisol ke dalam pembuluh darah. Epinephrine menyebabkan produksi insulin oleh pankreas turun, kortisol menyebabkan produksi glukosa oleh lever meningkat dan  jaringan  tubuh  menurunkan penggunaan glukosa. Reaksi biokimia terhadap stres tersebutlah yang merusak pengaturan glukosa pada diabetes (Sarafino, 1998).

Pengelolaan diabetes bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat pula bahwasannya diabetes disandang seumur hidup. Walau demikian, pasien dapat hidup berdampingan dengan diabetes. Penelitian yang dilakukan menunjukkan kemauan yang kuat dan kerja keras pasien dalam pengelolaan diabetes mampu mempertahankan keadaan pada kondisi diabetes terkontrol.

Hasanat (2008) menemukan bahwa bersyukur atas kondisi sakit, memotivasi diri untuk sembuh, aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan perkumpulan pasien diabetes (PERSADIA), perasaan senasib, kesadaran diri untuk menerima kondisi diri, serta dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga, dokter maupun PERSADIA dapat membuat hari-hari mereka menjadi lebih berkualitas baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Pada umumnya, pasien terbantu dengan kegiatan yang dilakukan PERSADIA, seperti senam dan sarasehan. Mereka yang antusias mengikuti kegiatan yang ada merasa gembira berada di antara teman-temannya. Hal ini menunjukkan adanya dukungan sosial. Dukungan sosial diperlukan dalam membantu pasien untuk bertahan mengelola penyakitnya dan kondisi psikologis atau kejiwaan yang lebih baik. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial akan dapat mempercepat seseorang untuk sembuh dari sakitnya ( Taylor, 2006).

Penulis merupakan dokter umum yang berpraktik di RSK Puri Nirmala setiap hari Jumat pukul 13.00 – 16.00 WIB. segera konsultasikan diri anda ke +62 815-2461-7175 (Pendaftaran RSK Puri Nirmala)

Daftar Pustaka

Hasanat (2008), Dinamika Emosi Kepatuhan Diet Pada Pasien. Diabetes Melitus

Kirkley (dalam Fisher, dkk., 1982), Psychological factors in diabetes and its treatment

Sarafino, 1998; Cox & Gonder-Frederick, 1992, Major developments in behavioral diabetes research

Taylor 2006, Health psychology. New York : McGraaw HillTjokroprawiro, Askandar Terbitan: (2004), Hidup Sehat dan Bahagia bersama Diabetes