Oleh : dr. Fitria Dewi Lestari
Tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional (HDI). Hari Disabilitas Internasional diperingati sebagai wujud penghormatan terhadap hak-hak serta kesejahteraan penyandang disabilitas.
Hari Disabilitas Internasional pertama kali diproklamirkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1992. Acara ini merupakan bagian dari upaya untuk mengadvokasi penerapan penuh Program Aksi Dunia untuk Penyandang Disabilitas, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mempromosikan tindakan di tingkat nasional dan internasional.
Pentingnya peringatan ini adalah untuk:
- Meningkatkan Kesadaran: Memberikan pemahaman kepada masyarakat umum mengenai hak-hak penyandang disabilitas dan tantangan yang mereka hadapi.
- Mendorong Inklusi: Menghilangkan stigma dan diskriminasi, serta mendorong partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam semua aspek kehidupan.
- Penguatan Kebijakan: Menginspirasi pemerintah, organisasi, dan masyarakat untuk membuat kebijakan yang lebih inklusif.
Menurut Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Berdasarkan Pasal 4 Penjelasan atas UU Disabilitas tersebut juga memaparkan definisi lebih lanjut per ragam disabilitas.
- Disabilitas fisik
- Disabilitas mental (psikososial dan perkembangan)
- Disabilitas intelektual
- Disabilitas ganda
Pernahkah Anda mendengar tentang disabilitas psikososial?
Disabilitas psikososial di Indonesia adalah salah satu kategori disabilitas yang diakui oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Disabilitas psikososial merujuk pada individu yang memiliki keterbatasan dalam berinteraksi sosial atau menjalankan fungsi sehari-hari akibat gangguan kesehatan mental, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, depresi berat, gangguan kecemasan, atau PTSD. Terminologi ini sama halnya dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Bagaimana kondisi disabilitas psikososial di Indonesia?
Stigma dan diskriminasi masih sering menghantui penyandang disabilitas psikososial di masyarakat, seringkali dianggap “kurang mampu” atau “berbahaya”. Hal ini memperburuk isolasi sosial dan menurunkan kualitas hidup mereka. Selain itu akses terhadap layanan kesehatan mental terbatas terutama di daerah terpencil.
Praktik pasung walaupun dilarang hukum nyatanya masih dilakukan di beberapa daerah, menurut Kemenkes pada triwulan II 2019 ada sekitar 4304 orang dengan gangguan jiwa di Indonesia terdeteksi menjalani hidup dengan pemasungan.
Gap pengetahuan masih terasa, sehingga edukasi terus dilakukan untuk menghapus stigma dan diskriminasi. Kampanye melalui media sosial dan acara publik bertujuan mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental, namun kembali lagi akses mendapatkan informasi juga memiliki peran penting dalam menyebarkan kampanye anti stigma. Dengan memberikan layanan kesehatan mental yang lebih baik, diharapkan praktik pemasungan dapat benar-benar dihilangkan.
Jumlah tenaga profesional seperti psikiater dan psikolog juga masih terbatas dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Seringkali layanan kesehatan mental juga dianggap “mahal” bagi beberapa orang. Pemerintah perlu memperluas akses ke fasilitas kesehatan mental hingga ke pelosok daerah dan menambah jumlah tenaga kesehatan yang kompeten. Integrasi dengan layanan BPJS Kesehatan juga dilakukan. Penyandang disabilitas psikososial dapat mengakses layanan kesehatan mental melalui BPJS Kesehatan, meskipun belum semua layanan atau obat-obatan tersedia secara optimal.
Rehabilitasi berbasis komunitas dirancang untuk memberdayakan penyandang disabilitas di tingkat masyarakat dengan memberikan pelatihan keterampilan, layanan konseling, dan dukungan komunitas. Salah satu kelompok seperti Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) memberikan ruang bagi penyandang disabilitas psikososial untuk berbagi pengalaman dan mendukung satu sama lain.
Dalam pendidikan dan pekerjaan juga menjadi kendala pada penyandang disabilitas sosial. Kurangnya program pendidikan inklusif yang dirancang untuk mendukung individu dengan disabilitas psikososial. Diskriminasi di tempat kerja yang membuat mereka sulit mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan. Menciptakan sistem pendidikan dan dunia kerja yang ramah bagi penyandang disabilitas psikososial masih menjadi PR yang harus diselesaikan.
Indonesia memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang mengakui hak penyandang disabilitas psikososial untuk mendapatkan perlakuan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Pemerintah mengesahkan UU No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan termasuk di dalamnya Kesehatan Jiwa, yang menekankan pentingnya pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi untuk kesehatan mental.
Memperjuangkan hak penyandang disabilitas psikososial tidak cukup hanya dengan membahasnya panjang kali lebar. Perlunya upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, penyandang disabilitas psikososial di Indonesia diharapkan dapat menikmati hak-hak mereka secara setara dan hidup dengan martabat.
Selamat Hari Disabilitas Internasional,
Selayaknya manusia, Kita semua berhak untuk berdaya ❤️
Penulis adalah dokter umum yang berpraktik di RSK Puri Nirmala pada Selasa, Kamis, Sabtu pukul 09.00 – 16.00 WIB
Referensi:
International day people with disabilities- 2024 IDWP diakses di https://idpwd.org
https://news.republika.co.id/berita/rja5el485/4304-odgj-di-indonesia-hidup-dalam-pemasungan
Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas